Romantika Perjalanan
Gang III Sekarwangi: Senja Hari…
“Setelah nyampek makam, belok kanan. Lurus. Terus. Sampai perempatan ambil gang ke masjid. Lalu ada wartel Tiga Putera. Lalu ada warnet Why. Turun di situ. Masuk ke gang depannya…” suaramu di seberang telepon tadi siang, masih terngiang sepanjang jalan Ketintang Lidah. Di antara reklame, ratusan mobil yang saling berburu serta rintik kecil gerimis, kembali kubayangkan rautmu, yang dua tahun telah menghilang dari peredaran langit ingatanku. Lamat-lamat kubayangkan. Kuyakinkan, kau mungkin telah banyak berubah. Senyummu mungkin tak semesra ombak pantai pagi hari lagi? Dadamu masihkah menyisakan debur kasih untuk kugeluti? Atau tatapanmu, adakah bening-bening embunnya kan mengusap kemarauku lagi?
Deru motor terus melaju. Gang demi gang kulalui. Tapi jarak begitu jauh membayang rautmu. Waktu seperti siput yang berjalan malu-malu mendekati titik pusatmu. Sementara bising dan debu terus menyerbu hidung. Mengaburkan pandangan. Dan orang-orang bergegas lebih getas dari angin yang berhembus kelabu. Langit mulai tampak meringis. Dan rintik-rintik butir air mulai tetas di wajah. Rintik-rintik yang kian lama kian membesar. Hujan sepertinya akan seperti yang tidak kuharapkan dalam doa depan pintu: semoga perjalanan ini tidak terhalang oleh sesuatu apa pun, Tuhan…
Tapi akhirnya kupilih sebuah warung bercat merah untuk berteduh. Hujan telah menjadi-jadi. Deru kendaraan semakin blingsatan. Kuusap dahi. Dan sejenak kudongakkan kepala. “Ah, ternyata atap teras warung nasi yang lagi tutup ini bocor,” gerutuku dingin. Di tengah perasaan yang pecah, dan dingin yang terus menggumpalkan rindu, kusedikit perlu mengernyitkan kening. Mengingat kembali ceritamu tentang kota ini. Kota yang kini riuh redam oleh bising dan birahi elektronik. Waktu itu kau juga bercerita bagaimana kegelisahan selalu membuntutimu setiap kali melintas di Jalan Wiyung ini. Bagaimana keresahan tumpah ruah di depanmu, saban kau saksikan baliho-baliho besar-kecil dengan gambar dan kata-kata yang dipermak. Dan semuanya itu kau pun tidak lupa merangkumnya dalam puisi.
Oh ya puisimu, “hantu-hantu pohon trembesi”, kini sudah kutangkap dunianya. Dunia, dimana kota yang kini mengasuhmu dengan bising dan resah, telah menjadi medan pertempuran wajah-wajah. Menjadi ajang memamerkan kata-kata rayuan: muda, bijak teruji, berilah kesempatan sekali lagi, kami bukan kacang lupa kulitnya dan slogan-slogan yang kini benar-benar merayu rakyat. Merayu hati kita.
“Tapi aku akan tetap memilih golput” kau tertawa renyah senja itu dari seberang telepon. Senja, di mana aku lagi mengerjakan baliho seorang caleg.
“Kau nanti akan berdosa. Dan masuk neraka” godaku disertai derai tawa.
“Aku akan memilih golput. Aku tidak takut dosa. Aku akan memberikan suaraku untuk mereka semua. Sebab mereka telah merayuku”
“Berarti tidak sah dong” protesku. Kau tertawa. Seperti hendak menegaskan keangkuhan dan pendirianmu, serta sikapmu akan kondisi bangsa yang tidak mau berubah ini.
“Mungkin inilah pendidikan yang mesti kita ajarkan pada para penguasa dan rakyat. Pendidikan yang berangkat pada kejernihan seni. Bangsa ini mesti memahami seni!” lalu kau meminta diri untuk mengakhiri percakapan, sebab mesti berangkat latihan teater.
Sepanjang jalan, aku berharap kau hari ini tidak latihan. Aku harap kedatanganku ke Kota Buaya ini tidak sia-sia. Hujan mulai menyusut. Menyisakan rintik-rintik serbuk. Jalanan tergenang air. Kupacu sepeda motor butut agak pelan. Sepeda motor butut yang kupinjam dari Alqi. Teman sekelas yang kini juga kuliah di Kota Buaya ini. “sudah dekat,” pikirku. Seperti katamu, “ketika sampai di lampu merah, dan kau lewati Royal Residence, lihat-lihatlah ke samping kananmu. Ketika kau temui papan ‘Pondok Sabilillah’, masuklah gang. Lurus sampai makam”. Dan kini aku telah sampai pada papan nama yang dimaksud Shifa: ‘Pondok Sabilillah’…
Memasuki gang makam, dadaku berdebar. Seperti menangkap isyarat ghaib, bulu romaku berdiri. Darah berderap kencang. Dan berbagai ketakmengertian lamat-lamat menyembul. Tidak adakah alasan lain, selain sepotong kenangan yang membuat aku menjejakkan kaki di Kota Buaya ini? Masih begitu memikat dan indahkah kenangan itu? Ah, entah karena apa aku mesti datang padamu Shifa? Masihkah ada ruang dadamu untuk kegalauan yang menggunung di dadaku? Kegalauan yang karatan selama dua tahun di antara sela iga-igaku.
***
Taman Bunga: Hujan Baru Usai dan Perpisahan akan Dimulai…
Dandanan Shifa malam ini menebar pesona aura yang amat memikat di mata Syam. Cerlang motif bajunya begitu kontras dengan langit yang mengisyaratkan kemuraman di matanya. Merah hati. Berhias mawar putih. Rok pendek hitam. Menyusur trotoar taman bunga, sambil menggigiti jagung bakar dan berkisah dan berkhayal tentang berbagai parade yang akan terjadi setelah perpisahan, mereka tampak pasrah pada nasib. Bahkan di antara cekikikan kupu-kupu malam, pemburu yang mengokang pistol birahi di balik-balik rimbun pohon-pohon trembesi, Shifa dan Syam melukis cerita mereka di daun-daun yang basah. Di tanah yang menguap aroma keharuan. Di tengah taman, dekat air mancur, mereka memilih tempat bersebelahan. Menghadapkan badan yang coba ditegarkan.
“Tidakkah kau akan menemaniku ke negeri seberang Syam?” mata Shifa kuyu dan berkaca-kaca menatap Syam. Syam lebih memilih menyimpan empat dari sepuluh kata yang akan diucapkan. Syam mendongak. Sedikit ia menyungging senyum. Menyisihkan galau yang timbul tenggelam di bening matanya.
“Suatu saat kirimi aku cerita” suara Syam sengak ”Aku ingin kau berbagi nuansa tentang kota, yang di sana kau akan menemukan taman impianmu. Melanjutkan sekolah, kuliah. Berlatih teater. Jadi aktor hebat. Jadi artis. Dan seperti bulan, kau akan didamba semua orang. Saat itu, aku hanya mengharap kau berkirim cerita. Tentang kota itu. Kota yang malam-malamnya tidak tidur. Mall-mall yang menginspirasi orang untuk mengunjunginya. Atau angkot yang ber-ac. Waktu itu, aku hanya ingin mendengar ceritamu”
“Kau cemburu Syam”
Shifa merapatkan tubuh pada dekapan Syam. Syam hanya menghela nafas berat. Dan gemerisik daun-daun di goyang angin mengiringi isak Shifa. Sejenak mereka terdiam. Menata gejolak yang melonjak di dada masing-masing. Dan malam terus larut. Dan dingin terus memberi isyarat akan kehilangan yang menyelinap laksana bayang-bayang kelam.
Dan malam itu, seusai dentang lonceng jam dua belas kali. Mereka bergegas ke arah selatan. Ke arah di mana bus-bus keluar masuk Kota Sumekar. Membawa kenangan dan menghadirkan keharuan di hati para penumpangnya. Di atas becak, Shifa dan Syam terus berdekatan. Berdekapan. Seolah kelam malam, menjadi alasan mereka untuk tidak hirau pada berpuluh mata di sekitar mereka. Seolah mereka hendak menuntaskan sisa waktu berkasih. Sedang perpisahan yang sebentar lagi akan berlangsung, seperti drama besar Shakespeare. Agung nan mengharukan.
“Berjanjilah untuk tetap berbagi cerita denganku, Shifa”
Syam termangu. Tangannya melambai seperi ranting yang lemas. Shifa menyungging senyum kelu. Deru bus membawanya ke arah selatan. Ke arah di mana malam semakin kelam di mata Syam.
Dan fajar di timur lamat-lamat menampak…
***
Café Arudam: Sebuah Lagu Mengalun Indah…
I follow the Moskva
Down to Gorky Park
Listening to the wind of change
An August summer night
Soldiers passing by
Listening to the wind of change
Lagu Scorpions mengalun penuh sentuhan di lubuk jantungku. Darahku seperti hujan yang mulai menggerimis. Duduk di pojok, di lantai tiga Royal Plaza ini, kembali kutangkap kelap-kelip rumah yang berdesak-desakan di kejauhan. Kelap-kelip menjelang malam. Kelap-kelip yang juga kutangkap pada semburat mata Shifa.
“Aku suka lagu ini Syam,” Shifa mulai bercerita. Lagu Scorpions yang terus mengalun dari hp nokianya, menyiratkan sebuah hasrat terpendam. Atau mungkin kekecewaannya pada seorang lelaki yang pernah menggantikan kehadiranku. Lagu yang kunikmati bersama kecemburuanku yang menderu seperti laju bus kota menembus tubuh sumpek kota ini.
Shifa terus bercerita. Di kota ini mula-mula, setelah berpisah denganku, ia menemukan kegelisahan dan kehilangan tak terkira. Hari-harinya dilalui dengan menghitung tetasan airmata. Kuliahnya, hanya jeda melepas duka maha dalam.
Sebulan berselang, Shifa mulai bisa melupakan kenangan bersama Syam. Bersamaku. Entah dari apa kenangan itu? Ia datang seperti oplet tua dan pergi seperti siput? Ah entah kapan dia datang dan pergi?
Ode, lelaki dengan mata sipit, berkulit putih, dan berkacamata minus, lambat-laun mengisi ruang resah di sudut hati Shifa. Shifa pun mulai belajar: hidup penuh pilihan! Aku harus memilih! Dari lelaki ini, ia belajar menerima hidup sebagai kenyataan. Bukan mimpi. Ia juga mulai memahami untuk menjadi “Perempuan di Titik Nol”. Sosok yang diperankannya dalam drama “Aku Perempuan”. Drama yang diadaptasi dari novel Nawal El-Sadawi. Drama yang ditulis dan disutradarai oleh Ode.
“Ia lelaki yang diimpikan dan dielukan oleh setiap orang di sekitarnya.” Shifa menerawang jauh. Runcing matanya menembus rinai hujan. Sementara di kejauhan, lanskap kota menawarkan sepotong panorama ricuh: keluh di hati Shifa, cemburu di hati Syam. “Ia pintar. Energik. Dan penuh totalitas. Tapi sayang hidup menyediakan banyak pilihan. Aku mesti memilih. Seperti dia memilih.” sejenak Shifa menahan nafas. Lalu, tampak berat ia menghempaskannya. Seperti hendak menghempaskan batu ketidakberdayaan di dadanya; beban ketidakpercayaan akan orang yang selama ini mampu mengisi hari-harinya, tiba-tiba dengan alasan klise: tidak ada kecocokan lagi, memutuskan berpisah.
Berat awalnya. Tapi lambat laun ia mesti menyadari kembali: hidup mesti memilih! Ia mesti kembali menjadi sosok perempuan yang diajarkan oleh “Aku Perempuan” yang dipentaskannya. Perempuan yang tak boleh meneteskan airmata. Perempuan yang …
“Ah?” mata Shifa berbinar. Tatapannya sayu mesra. Binar-binar keceriaan yang sempat padam menemukan sumbu nyala lagi.
“Kuputuskan untuk memilih Syam” Shifa menyadarkan kepalanya ke bahu Syam. Shifa menyandarkannya sepeti dulu mereka menikmati malam Taman Bunga.
“Dan kuputuskan untuk bersetia hati Shifa”, tangan Syam membelai sulur-sulur rambut Shifa.
Lalu Shifa dan Syam mendekatkan diri. Di kedua tobong mata mereka kelap-kelip kota, rinai hujan, memupus rindu tanah yang menguar.
Lidahwetan, Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar