Kamis, 10 Juni 2010

Cerpen Anak

WANDI DAN MENCONTEK
Bel masuk baru saja berbunyi, tanda jam pertama akan dimulai. Di dalam kelas 5A, tampak wajah anak – anak tampak tegang , bercampur rasa cemas.
“ Tampangmu kusut amat Wan? Kenapa? Takut ya hasil ulangan matematikanya jelek? “ Celetuk Amir dari belakang, Wandi mengiyakan. Ya jam pertama ini adalah pelajaran matematika, dan hari ini akan dibagi hasil tes matematika yang beberapa hari lalu kelas Wandi ikutin, pantas saja anak – anak tampak tegang, mereka kuatir akan hasil tes matematika mereka, hanya beberapa anak yang tampak percaya diri.
“ Iya nih Mir, kamu tahukan kalau tes matematikaku kadang bagus, kadang juga jelek, dan tes kemarin aku hanya sanggup menyelesaikan 6 soal dengan baik dari 10 soal yang diberikan, sisanya ga yakin aku. “ Sahut Wandi
“ Mending kamu Wan, aku malah pasrah , hanya 4 nomor aja yang bisa kukerjakan, dan yakin benar. “ Sahut Acan, tampak benar kalau dia gugup banget. “ Ah kayaknya hari ini jatah mainku bakal dipotong lagi. “ Katanya lagi

Wandi, dan Amir tertawa. Saat itu juga Pak Sapta, guru matematika mereka masuk.
“ Selamat pagi anak – anak !”
“ Selamat pagi Pakkkk!!” Jawab anak – anak serentak
“ Baiklah anak – anak, Bapak akan bagi hasil tes kalian, yang namanya disebut harap maju mengambil kertas hasil tesnya. “ Kata Pak Sapta

Kemudian Pak Sapta mulai memanggil satu –persatu, anak – anak yang dipanggil maju mengambil hasil tes mereka dengan gugup, ada yang yang berteriak kecil “Yesss”, ada yang diam saja, dan ada juga yang kecewa berat karena hasilnya tidak sesuai dengan perkiraan.
“ Gimana Wan? Dapat berapa kamu? “ Tanya Amir
“ Yaa lumayan, 7 lebih baik dari yang kukira, nomor 8, dan nomor 9 walau ga sepenuhnya betul, diberi nilai nilai setengah oleh Pak Sapta.
“ Kata Wandi tersenyum puas “ Kamu sendiri gimana Mir?
“ Ya ga jeleklah, aku dapat 6. “Sahut Amir
“ Kamu dapat berapa Can? “ tanya Wandi pada Acan yang baru saja mengambil hasil tesnya, terlihat bener wajah Acan cemberut
“ Gagal total, tapi lebih barik dari yang kukira, aku dapat 5. “Kata Acan

Beberapa saat kemudian pak Sapta hampir selesai membagikan hasil tes, masih terlihat ada 2 lembar dipegang pak Sapta, dan sekarang pak Sapta pasang tampang tegas memanggil 2 orang terakhir
“ Hadi, dan Erik silakan maju ke depan.”
Keduanya maju ke depan, tapi agak kaget soalnya Pak Sapta tiba – tiba memanggil dengan nada cukup tinggi, sampai di depan kelas, Pak Sapta memandangi mereka berdua gantian.
“ Kalian berdua mendapat nilai yang sama 8..... tapi itu bukan hal yang aneh, yang membuat saya bertanya- tanya adalah jawaban kalian semua sama, yang benar maupun yang salah, bahkan sampai angka – angkanya semua sama.” Pak Sapta berhenti , dia memandang Hadi, dan Erik bergantian menunggu jawaban dari mereka berdua, tapi keduanya masih terdiam
“ Hal ini hampir mustahil terjadi 2 lembar kertas tes, dari 2 orang berbeda mempunyai jawaban yang sama persis, dan bukan hanya jawaban yang benar bahkan jawaban yang salah dan langkah – langkahnya semua sama. Kecuali.... kalian bekerja sama atau salah satu diantara kalian ada yang mencontek. “ Kata Pak Sapta dengan nada meninggi, tatapannya menjadi lebih tajam, menatap Erik, dan Hadi.
Seluruh kelas langsung ribut, dan berbisik – bisik.
“Lebih baik kalian mengaku sekarang, dan Bapak akan maafkan, dan hukumannya tes ulang, tapi nilai maksimal hanya 6. “ Kata Pak Sapta lebih tenang
“ Bukan saya Pak, tuh Erik yang mencontek saya. “ Hadi menuduh Erik, Erik jelas tidak terima, ia kemudian mendorong Hadi
“ Enak saja, kamu kali yang mencontek, aku belajar semalaman, ngapain aku nyontek. “ Erik membela diri
“ Bukan hanya kamu yang belajar semalaman, aku juga. “ Kata Hadi tak mau kalah.

Anak – anak di kelas masih ribut dan berbisik – bisik dugaan mereka, Hadi dan Erik duduk sebelahan, jadi sangat memungkinkan salah satu dari mereka mencontek yang lain. Wandi juga menduga – duga siapa yang mencontek tapi, tanpa petunjuk dia hanya bisa menduga – duga. Tiba – tiba Sherly berdiri, sambil mengacungkan jari, mungkinkah dia mengetahui siapa yang mencontek?
“ Ya Sherly ada apa?” Tanya Pak Sapta
“ Begini Pak, kenapa kita tidak minta bantuan Wandi dalam memecahkan masalah ini? Mungkin dia bisa mengetahui siapa yang mencontek “ Usul Sherly, Sherly pernah dibantu Wandi dalam memecahkan kasus perhiasannya yang hilang, tapi itu kebetulan saja Wandi mendapat petunjuk, kalau mencontek? Dapat petunjuk darimana? Kejadiannya juga sudah berlangsung beberapa hari yang lalu.
“ Wandi? “ Kata Pak Sapta menimbang – nimbang
“Ya Pak, Beberapa waktu lalu Wandi berhasil membantu saya dalam menemukan siapa yang mencuri perhiasan saya di rumah. “ Kata Sherly lagi.
Pak Sapta berpikir sejenak

“ Hmm baiklah, Wandi , coba kamu bantu Bapak. “ Kata Pak Sapta, Wandi tidak bisa menolak lagi, dia mencoba apa yang bisa dia lakukan, satu – satunya bukti yang tersisa hanya kertas tes mereka. Hadi, dan Erik pasang tampang galak pada Wandi, maksudnya jelas, kalau masing – masing berharap tidak dituduh oleh Wandi. Anak – anak yang lain mulai tenang, mereka menunggu aksi Wandi, apa sepintar yang diceritakan oleh Sherly ? atau hanya kebetulan saja.
“ Maaf Pak bisa saya melihat kertas tes mereka berdua? “ Pinta Wandi, Pak Sapta mempersilakan Wandi melihat kertas tes Hadi, dan Erik. Wandi memperhatikan baik – baik kedua kertas tes itu mungkin saja dia mendapat petunjuk. Kedua lembar tes itu sesuai yang dikatakan Pak Sapta sebelumnya, isinya sama, dari soal sampai jawaban, semua sama, hanya nama yang tercantum di kertas masing – masing saja berbeda. Wandi kebingungan, dia tidak mendapati petunjuk.
“Hmmm, semua sama, seperti kata Pak Sapta, bahkan angka – angka dan langkah – langkah pengerjaannya semua sama persis. Yang beda hanya tulisan mereka. Tulisan Hadi jauh dari rapi, berbeda dari Erik , tulisannya rapi sekali, seperti anak cewek saja. “ Pikir Wandi, Heii tulisan rapi ini petunjuk yang penting, dia mendapat perbedaan yang sangat menentukan dari kedua kertas tes itu, kemudian dia tersenyum simpul, dan menggaruk - garuk kepala , kebiasaannya kalau mendapat petunjuk untuk memecahkan kasus.
“Bagaimana Wandi? Kamu menemukan sesuatu? “ Tanya Pak Sapta, Wandi mengangguk, Hadi, dan Erik menunggu dengan was – was, seisi kelas menjadi diam menunggu Wandi buka mulut. Wandi memperlihatkan kedua kertas tes itu lagi pada Pak Sapta
“Bapak lihat kertas tes mereka Pak? Ada perbedaan yang mencolok. “ Kata Wandi

Pak Sapta kebingungan, dia yakin kalau kedua isi kertas tes itu sama, tapi kenapa Wandi mengatakan ada perbedaan yang mencolok.
“ Maksud kamu apa Wan? Isi keduanya sama, tida ada perbedaan seperti yang kamu bilang. “
“ Kalau isinya memang sama Pak, tapi kalau kita lihat penulisannya , maka kita dapat melihat perbedaan yang sangat besar. “ Kata Wandi lagi, Pak Sapta masih belu mengerti maksud Wandi, dia tahu tulisan keduanya memang berbeda, tapi itu hal yang wajar.
“ Begini Pak, kalau saya mengerjakan tes matematika pasti ada coretan – coretan kecil, ato koreksi, apalagi kalau ada jawaban saya yang salah, kecuali saya sangat pandai dan mendapat nilai sempurna, Dan lihat kedua kertas ini Pak, kertas milik Hadi , kerjaannya tidak rapi, banyak coretan dan koreksi dimana – mana, ini wajar, kertas tes saya juga demikian banyak coretan maupun koreksi, dan Bapak bisa lihat kertas tes anak – anak lain yang tidak mendapat nilai sempurna pasti ada beberapa koreksi jawaban ato coretan – coretan kecil. Dan sekarang kertas tes Erik...rapi sekali, bersih malah bisa dikatakan terlalu bersih, mustahil mengerjakan matematika serapi ini, apalagi kalau ada jawaban yang salah, kecuali.... “

Pak Sapta mengangguk – angguk , dan seisi kelas mengerti apa yang dimaksud Wandi, mustahil mengerjakan matematika selancar itu, kecuali kalau dia hanya menyalin alias mencontek. Erik tercekat dengan penjelasan Wandi, ia ingin memperotes tapi dia tidak dapat menemukan alasan yang dapat membantunya mengelak lagi, dan Hadi tersenyum puas,
“ Terima Kasih Wan, kalau tidak ada kau, mungkin aku masih dituduh mencontek. “
“ Ah, aku hanya membantu sebisaku. “
Pak Sapta juga puas dengan penjelasan Wandi, dan kini Erik hanya terdiam, dia menunggu keputusan hukuman Pak Sapta, kalau tahu kejadian bakal begini , dia pasti bakal mengaku saja tadi, tapi kini semua sudah terlambat , hukuman yang lebih berat sudah menantinya.

Cerpen sosial


Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Cirendeu 1-3-03